20 Maret, 2010

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus

Oleh
Sayu Putu Yuni Paryati
B161020061

E-mail : yunisayu@yahoo.com

PENDAHULUAN


Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000). Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval 1997).
Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri penyebab mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Dengan terapi antibiotika, S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing, namun akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam dan ini menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Penelitian mengenai patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae telah dilakukan menggunakan mencit sebagai hewan model (Estuningsih 2001). Demikian juga patogenesis mastitis nekrotik akut (Shibahara dan Nakamura 1998) serta mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus telah diteliti secara in vitro menggunakan biakan jaringan (Purnami 1999), namun belum banyak diketahui mengenai patogenesis penyakit yang disebabkan oleh S. aureus pada kasus mastitis subklinis secara in vivo. Berbagai kendala mungkin dihadapi untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis pada jaringan kelenjar ambing sapi, sehingga perlu dilakukan penelitian pada hewan lain yang mungkin dapat dijadikan model untuk sapi. Dalam penelitian ini akan digunakan mencit sebagai hewan model.

Hipotesis
1. Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis akibat infeksi bakteri S. aureus.
2. Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.
3. Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi.


TINJAUAN ONTOLOGI MASTITIS PADA SAPI PERAH

Pengertian Mastitis
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar ambing. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).
Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi : mastitis perakut, akut, sub akut, subklinis dan kronis (Hurley dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991). Mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991), tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur sapi (Duirs and Macmillan 1979).


Penyebab Mastitis Subklinis Staphylococcus aureus
S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37° C dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.
Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ; (4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host specific”, artinya ada kaitan antara biotipe dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan flora normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian atas, kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan bronchoalveolar (Hensel et al. 1994).
Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).

Histopatologi Mastitis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih 2001).


TINJAUAN EPISTEMOLOGI MASTITIS SUBKLINIS


Tinjauan epistemologi mastitis subklinis pada sapi perah akan menjelaskan mengenai mekanisme kejadian penyakit serta patogenesis bakteri S. aureus sebagai penyebab mastitis subklinis yang umum dijumpai pada sapi perah. Patogenesis penyakit dijelaskan berdasarkan gambaran histopatologi dari kelenjar ambing mencit sebagai hewan model dalam penelitian ini.

Histologi Kelenjar Ambing
Struktur kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma (connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap hormon oxytocin dan selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan ikat membrana basalis. Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus bergabung dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).
Sel yang melapisi alveol bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktif menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke dalam lumen, meregang, sel-sel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991). Sel-sel sekretoris alveol kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet lemak serta banyak memiliki vakuol sekretoris (Russo dan Russo 1996).
Pada mencit, masa laktasi berlangsung selama 3 – 4 minggu tergantung strain mencit dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari post partus. Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan struktur massa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan lemak (fat pad).

Patogenesis Mastitis
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka (Gambar 1). Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.

Penelitian pada mencit yang diinfeksi dengan S. aureus, memperlihatkan bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aureus melalui kelenjar ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi. Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen alveol dan terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975).
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.
Paryati (2002) menyatakan bahwa infeksi bakteri S. aureus dengan dosis infeksi pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan ambing secara klinis. Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen. Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol. Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus tidak menimbulkan perubahan secara klinis.
Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S. aureus. Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar ambing.
Pengamatan histopatologi menggunakan pewarnaan HE pada kelompok 2 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah inter-alveoler. Sel-sel epitel alveol mulai mengalami hiperplasia. Struktur kelenjar ambing dan sekresi susu tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelenjar ambing mencit kontrol. Susunan kelenjar masih dalam batas normal.
Empat jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai dengan diapedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN) pada jaringan interstitium. Arsitektur kelenjar dan sekresi susu masih dalam batas normal (P>0,05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactiverus sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.
Hasil uji statistik memperlihatkan struktur kelenjar ambing kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan struktur kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok 72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok 72 dan 96 jam p.i. Penurunan jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat terjadinya atrofi kelenjar, menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen alveol dan keutuhan epitel menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan susu di dalam lumen alveol dapat pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika disertai dengan terjadinya degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan pengaliran susu dapat terjadi jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat banyaknya reruntuhan sel pada sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i. (Paryati 2002).
Selanjutnya dijelaskan bahwa penurunan sekresi susu juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mencit 60, 72 dan 96 jam p.i dibandingkan dengan kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan sekresi susu terjadi karena berkurangnya jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi kelenjar alveol.
Hurley dan Morin (2000) lebih lanjut menjelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah : jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan karena adanya komponen lipid pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor Fc pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang berlebihan dan meningkatnya gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kemampuan PMN dalam fagositosis dan membunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan defisiensi vitamin E atau selenium.
Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang relatif sedikit dan dalam susu hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan Morin 2000).

Pengujian hipotesis
Suriasumantri (1999) menjelaskan bahwa metode ilmiah adalah langkah-langkah dalam proses pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir rasional dan empiris dengan penghubung berupa hipotesis. Hipotesis merupakan kesimpulan yang ditarik secara rasional dalam sebuah kerangka berpikir yang bersifat koheren dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya dan hipotesis tersebut berfungsi sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang ditelaah dalam kegiatan ilmiah. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah kenyataan empiris sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa hipotesis yang telah dibuat dapat diterima, artinya bahwa pernyataan yang terkandung dalam hipotesis tersebut dianggap benar, yaitu :
1 Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis akibat infeksi bakteri S. aureus.
2 Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.
3 Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi.


TINJAUAN AKSIOLOGI PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

Selama ini, penanggulangan terhadap kasus mastitis hanya ditujukan untuk membasmi agen penyebabnya, misalnya dengan pemberian antibiotika dalam jangka waktu yang lama. Hal ini telah diketahui banyak menimbulkan efek samping, di antaranya akumulasi residu antibitika dalam produk hewan yang dapat merugikan masyarakat konsumen, disamping juga faktor biaya yang relatif mahal. Pengobatan biasanya hanya dilakukan pada hewan-hewan yang secara klinis menunjukkan gejala sakit.
Namun kenyataan yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa hewan yang secara klinis terlihat sehat bukan berarti bahwa dalam tubuhnya tidak terjadi perubahan yang secara ekonomi dapat merugikan. Sebagai contoh dalam penelitian ini, bahwa mastitis subklinis tidak memperlihatkan gejala pada inangnya, namun terjadi penurunan sekresi susu yang diakibatkan oleh adanya infeksi oleh S. aureus. Pada kasus mastitis, jalan infeksi bakteri S. aureus biasanya melewati puting ambing. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus lapisan tanduk puting lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi (Jonsson dan Wadström 1993).
Dengan mengetahui patogenesis S. aureus sebagai penyebab mastitis subklinis, dapat dijelaskan bagaimana mekanisme bakteri dalam menimbulkan kerusakan pada jaringan inangnya. Dengan demikian dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya pencegahan mastitis tanpa penggunaan antibiotika, misalnya pemanfaatan S. aureus sebagai kandidat vaksin yang dapat mencegah adhesi bakteri pada sel inang atau menggertak kekebalan spesifik dan non spesifik inang dalam upaya penanganan mastitis subklinis. Selanjutnya, penggunaan obat-obatan seperti antibiotika yang diketahui mempunyai berbagai macam efek samping pada ternak maupun pada masyarakat konsumen dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.
Penggunaan mencit sebagai model untuk penelitian penyakit pada sapi , khususnya penyakit yang menyerang ambing dapat dipertimbangkan mengingat bahwa mencit mempunyai struktur kelenjar yang sama dengan sapi. Hal ini berarti dapat menekan biaya penelitian karena harga mencit relatif murah dan mudah didapat.


PENUTUP

Gambaran histopatologi kelenjar ambing mencit yang secara klinis tidak menunjukkan adanya peradangan (mastitis) pada kenyataannya menunjukkan adanya perubahan struktur dari kelenjar berupa degenerasi, nekrosis dan atrofi. Perubahan ini berpengaruh terhadap sekresi susu, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditunjukkan oleh adanya lumen kelenjar yang kosong dan berkurangnya kelenjar yang aktif.
Mencit memiliki struktur kelenjar yang sama dengan kelenjar ambing mencit, sehingga dapat disimpulkan bahwa mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk penelitian pada sapi perah. Namun demikian, perlu dilakukan penelitian pada jaringan kelenjar ambing sapi sebagai studi banding. Dan penggunaan metode lain dalam mempelajari infeksi S. aureus perlu dikembangkan, misalnya dengan menggunakan teknik imunositokimia, mikroskop elektron ataupun dengan pewarnaan khusus lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Anderson JC, Chandler RL. 1975. Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological, Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510.

Arpin C, Lagrange I, Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal study of an outbreak of infection with Staphylococcus aureus resistant to lincosamides and streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.
Bramley AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J. (62) : Suppl. 1, 3-11.

Duirs GF, Macmillan KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production, age and mastitis organisms in individual cows. Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production. 39:175-179.

Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15-12-2000].

Estuningsih S. 2001. Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah : Pendekatan histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae hemaglutinin positif pada mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.

Godkin A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. agodkin@omafra.gov.on.ca. [22-10-1998].

Hajek V, Marsalek E. 1971. The Differentiation of Pathogenic Staphylococci and Sugestion for Their Taxonomic Classification. Zbl. Bacteriol. Parasit. (Abt I Orig.) 217a:176-182

Haraldsson I, Jonsson P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196.

Hensel A, Ganter M, Kipper S, Krehon S, Wittenbrink MM, Petzoldt K. 1994. Prevalence of Aerobic Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.

Hoblet KH, Eastridge ML. 1992. Control of Contagious Mastitis. Dairy Guide Leaflet. Ohio.

Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A.. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].

Hurley WL. 2000. Mammary tissue organization. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [17-11-2001].

Jonsson P, Wadström T. 1993. Staphylococcus in : Pathogenesis of bacterial infections in animals. Second edition. Edited by Carlton LG. and Charles O.T. Iowa State University Press. Ames : 21 – 35.

Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis in cattle. JAVMA 204:1152-1158.

Menzies BE, Kourteva I. 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.

Paryati SPY. 2002. Patogenesis Mastitis Subklinis yang Disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada Mencit Berdasarkan Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah. Tesis. Program Magister. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Purnami NL. 1999. Perbandingan kemampuan adhesi Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus yang memiliki antigen permukaan hemaglutinin pada permukaan biakan sel epitel ambing sapi. Skripsi. FKH-IPB Bogor.

Nelson W, Nickerson S. 1991. Mastitis counter attack. Babson Bros.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV. Percetakan Bali. pp. 153-163.

Russo IH, Russo J. 1996. Mammary Gland Neoplasia in Long-term Rodent Studies. Eviron Health Perpect. 104:938-967.

Shibahara T, Nakamura K. 1998. Pathology of acute necrotizing mastitis caused by Staphylococcus aureus in a dairy cow. http://ss.jircas.affrc.go.jp/engpage/jarq/33-2/Shibahara/shibahara.htm.

Singh I. 1991. Teks dan atlas histologi manusia. Alih bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301.

Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan).

Todar K. 1997. Bacteriology 330 Lecture Topics : Colonization and Invasion. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecoli

Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph. [2-4-2001].

Wahyuni AETH. 1998. Peran hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam proses adhesi pada sel epitel sapi perah. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana – IPB.

Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.

Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous location of the mupA high-level mupirocin sesistance gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.

SAPI POTONG

SAPI POTONG (Bos sp.)

I. UMUM

1.1. Sejarah Singkat

Sapi yang ada sekarang ini berasal dari Homacodontidae yang dijumpai pada babak Palaeoceen. Jenis-jenis primitifnya ditemukan pada babak Plioceen di India. Sapi Bali yang banyak dijadikan komoditi daging/sapi potong pada awalnya dikembangkan di Bali dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah seperti: Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi.

1.2. Sentra Peternakan

Sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura banyak terdapat di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi. Sapi jenis Aberdeen angus banyak terdapat di Skotlandia.

Sapi Simental banyak terdapat di Swiss. Sapi Brahman berasal dari India dan banyak dikembangkan di Amerika.

1.3. Jenis

Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang diimpor. Dari jenis-jenis sapi potong itu, masing-masing mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju pertumbuhan).

Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura. Selain itu juga sapi Aceh yang banyak diekspor ke Malaysia (Pinang). Dari populasi sapi potong yang ada, yang penyebarannya dianggap merata masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura dan Brahman.

Sapi Bali berat badan mencapai 300-400 kg. dan persentase karkasnya 56,9%. Sapi Aberdeen angus (Skotlandia) bulu berwarna hitam, tidak bertanduk, bentuk tubuh rata seperti papan dan dagingnya padat, berat badan umur 1,5 tahun dapat mencapai 650 kg, sehingga lebih cocok untuk dipelihara sebagai sapi potong. Sapi Simental (Swiss) bertanduk kecil, bulu berwarna coklat muda atau kekuning-kuningan. Pada bagian muka, lutut kebawah dan jenis gelambir, ujung ekor berwarna putih.

Sapi Brahman (dari India), banyak dikembangkan di Amerika. Persentase karkasnya 45%. Keistimewaan sapi ini tidak terlalu selektif terhadap pakan yang diberikan, jenis pakan (rumput dan pakan tambahan) apapun akan dimakannya, termasuk pakan yang jelek sekalipun. Sapi potong ini juga lebih kebal terhadap gigitan caplak dan nyamuk serta tahan panas.

1.4. Manfaat

Memelihara sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Sapi juga dapat digunakan meranih gerobak, kotoran sapi juga mempunyai nilai ekonomis, karena termasuk pupuk organik yang dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur.


Semua organ tubuh sapi dapat dimanfaatkan antara lain:
a) Kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket.
b) Tulang, dapat diolah menjadi bahan bahan perekat/lem, tepung tulang dan garang kerajinan
c) Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia.


II. PERSYARATAN LOKASI

Lokasi yang ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang serta dekat dengan lahan pertanian. Pembuatannya dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah atau ladang.


III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA

3.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan


Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.

Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.

Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.

Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan-bahan lainnya.
Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah.
Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).

Kandang untuk pemeliharaan sapi harus bersih dan tidak lembab. Pembuatan kandang harus memperhatikan beberapa persyaratan pokok yang meliputi konstruksi, letak, ukuran dan perlengkapan kandang.

a) Konstruksi dan letak kandang
Konstruksi kandang sapi seperti rumah kayu. Atap kandang berbentuk kuncup dan salah satu/kedua sisinya miring. Lantai kandang dibuat padat, lebih tinggi dari pada tanah sekelilingnya dan agak miring kearah selokan di luar kandang. Maksudnya adalah agar air yang tampak, termasuk kencing sapi mudah mengalir ke luar lantai kandang tetap kering.
Bahan konstruksi kandang adalah kayu gelondongan/papan yang berasal dari kayu yang kuat. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat, tetapi agak terbuka agar sirkulasi udara didalamnya lancar.
Termasuk dalam rangkaian penyediaan pakan sapi adalah air minum yang bersih. Air minum diberikan secara ad libitum, artinya harus tersedia dan tidak boleh kehabisan setiap saat.
Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang. Pembuatan kandang sapi dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah/ladang.

b) Ukuran Kandang
Sebelum membuat kandang sebaiknya diperhitungkan lebih dulu jumlah sapi yang akan dipelihara. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m. Sedangkan untuk seekor sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk seekor anak sapi cukup 1,5x1 m.

c) Perlengkapan Kandang
Termasuk dalam perlengkapan kandang adalah tempat pakan dan minum, yang sebaiknya dibuat di luar kandang, tetapi masih dibawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak/tercampur kotoran. Tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi dari pada permukaan lantai. Dengan demikian kotoran dan air kencing tidak tercampur didalamnya. Perlengkapan lain yang perlu disediakan adalah sapu, sikat, sekop, sabit, dan tempat untuk memandikan sapi. Semua peralatan tersebut adalah untuk membersihkan kandang agar sapi terhindar dari gangguan penyakit sekaligus bisa dipakai untuk memandikan sapi.

3.2. Pembibitan

Syarat ternak yang harus diperhatikan adalah:
a) Mempunyai tanda telinga, artinya pedet tersebut telah terdaftar dan lengkap silsilahnya.
b) Matanya tampak cerah dan bersih.
c) Tidak terdapat tanda-tanda sering butuh, terganggu pernafasannya serta dari hidung tidak keluar lendir.
d) Kukunya tidak terasa panas bila diraba.
e) Tidak terlihat adanya eksternal parasit pada kulit dan bulunya.
f) Tidak terdapat adanya tanda-tanda mencret pada bagian ekor dan dubur.
g) Tidak ada tanda-tanda kerusakan kulit dan kerontokan bulu.
h) Pusarnya bersih dan kering, bila masih lunak dan tidak berbulu menandakan bahwa pedet masih berumur kurang lebih dua hari.

Untuk menghasilkan daging, pilihlah tipe sapi yang cocok yaitu jenis sapi Bali, sapi Brahman, sapi PO, dan sapi yang cocok serta banyak dijumpai di daerah setempat. Ciri-ciri sapi potong tipe pedaging adalah sebagai berikut:
a) tubuh dalam, besar, berbentuk persegi empat/bola.
b) kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan.
c) laju pertumbuhannya relatif cepat.
d) efisiensi bahannya tinggi.

3.3. Pemeliharaan

Pemeliharaan sapi potong mencakup penyediaan pakan (ransum) dan pengelolaan kandang. Fungsi kandang dalam pemeliharaan sapi adalah :
a) Melindungi sapi dari hujan dan panas matahari.
b) Mempermudah perawatan dan pemantauan.
c) Menjaga keamanan dan kesehatan sapi.

Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga. Makin baik mutu dan jumlah pakan yang diberikan, makin besar tenaga yang ditimbulkan dan masih besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging.

3.3.1. Sanitasi dan Tindakan Preventif

Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas.

3.3.2. Pemberian Pakan

Pada umumnya, setiap sapi membutuhkan makanan berupa hijauan. Sapi dalam masa pertumbuhan, sedang menyusui, dan supaya tidak jenuh memerlukan pakan yang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan 3 cara: yaitu penggembalaan (Pasture fattening), kereman (dry lot fattening) dan kombinasi cara pertama dan kedua.

Penggembalaan dilakukan dengan melepas sapi-sapi di padang rumput, yang biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat penggembalaan cukup luas, dan memerlukan waktu sekitar 5-7 jam per hari. Dengan cara ini, maka tidak memerlukan ransum tambahan pakan penguat karena sapi telah memakan bermacam-macam jenis rumput.

Pakan dapat diberikan dengan cara dijatah/disuguhkan yang yang dikenal dengan istilah kereman. Sapi yang dikandangkan dan pakan diperoleh dari ladang, sawah/tempat lain. Setiap hari sapi memerlukan pakan kira-kira sebanyak 10% dari berat badannya dan juga pakan tambahan 1% - 2% dari berat badan. Ransum tambahan berupa dedak halus atau bekatul, bungkil kelapa, gaplek, ampas tahu. yang diberikan dengan cara dicampurkan dalam rumput ditempat pakan. Selain itu, dapat ditambah mineral sebagai penguat berupa garam dapur, kapus. Pakan sapi dalam bentuk campuran dengan jumlah dan perbandingan tertentu ini dikenal dengan istilah ransum.

Pemberian pakan sapi yang terbaik adalah kombinasi antara penggembalaan dan keraman. Menurut keadaannya, jenis hijauan dibagi menjadi 3 katagori, yaitu hijauan segar, hijauan kering, dan silase. Macam hijauan segar adalah rumput-rumputan, kacang-kacangan (legu minosa) dan tanaman hijau lainnya. Rumput yang baik untuk pakan sapi adalah rumput gajah, rumput raja (king grass), daun turi, daun lamtoro.

Hijauan kering berasal dari hijauan segar yang sengaja dikeringkan dengan tujuan agar tahan disimpan lebih lama. Termasuk dalam hijauan kering adalah jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, dsb. yang biasa digunakan pada musim kemarau. Hijauan ini tergolong jenis pakan yang banyak mengandung serat kasar.

Hijauan segar dapat diawetkan menjadi silase. Secara singkat pembuatan silase ini dapat dijelaskan sebagai berikut: hijauan yang akan dibuat silase ditutup rapat, sehingga terjadi proses fermentasi. Hasil dari proses inilah yang disebut silase. Contoh-contoh silase yang telah memasyarakat antara lain silase jagung, silase rumput, silase jerami padi, dll.

3.3.3. Pemeliharaan Kandang

Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.

Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.

3.4. Hama dan Penyakit

3.4.1. Penyakit

a) Penyakit antraks
Penyebab: Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan. Gejala: (1) demam tinggi, badan lemah dan gemetar; (2) gangguan pernafasan; (3) pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul; (4) kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan vagina; (5) kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; (6) limpa bengkak dan berwarna kehitaman. Pengendalian: vaksinasi, pengobatan antibiotika, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur/membakar sapi yang mati.

b) Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae epizootica (AE)
Penyebab: virus ini menular melalui kontak langsung melalui air kencing, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE. Gejala: (1) rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3) nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar berlebihan. Pengendalian: vaksinasi dan sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.


c) Penyakit ngorok/mendekur atau penyakit Septichaema epizootica (SE)
Penyebab: bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri. Gejala: (1) kulit kepala dan selaput lendir lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan; (2) leher, anus, dan vulva membengkak; (3) paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua; (4) demam dan sulit bernafas sehingga mirip orang yang ngorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam. Pengendalian: vaksinasi anti SE dan diberi antibiotika atau sulfa.

d) Penyakit radang kuku atau kuku busuk (foot rot)
Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor. Gejala: (1) mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh; (2) kulit kuku mengelupas; (3) tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit; (4) sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.

3.4.2. Pengendalian

Pengendalian penyakit sapi yang paling baik menjaga kesehatan sapi dengan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi adalah:
a) Menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, termasuk memandikan sapi.
b) Sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi sehat dan segera dilakukan pengobatan.
c) Mengusakan lantai kandang selalu kering.
d) Memeriksa kesehatan sapi secara teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk.


3.5. Panen

3.5.1. Hasil Utama

Hasil utama dari budidaya sapi potong adalah dagingnya

3.5.2. Hasil Tambahan


Selain daging yang menjadi hasil budidaya, kulit dan kotorannya juga sebagai hasil tambahan dari budidaya sapi potong.

3.6. Pascapanen

3.6.1. Stoving

Ada beberapa prinsip teknis yang harus diperhatikan dalam pemotongan sapi agar diperoleh hasil pemotongan yang baik, yaitu:
a) Ternak sapi harus diistirahatkan sebelum pemotongan
b) Ternak sapi harus bersih, bebas dari tanah dan kotoran lain yang dapat mencemari daging.
c) Pemotongan ternak harus dilakukan secepat mungkin, dan rasa sakit yang diderita ternak diusahakan sekecil mungkin dan darah harus keluar secara tuntas.
d) Semua proses yang digunakan harus dirancang untuk mengurangi jumlah dan jenis mikroorganisme pencemar seminimal mungkin.

3.6.2. Pengulitan

Pengulitan pada sapi yang telah disembelih dapat dilakukan dengan menggunakan pisau tumpul atau kikir agar kulit tidak rusak. Kulit sapi dibersihkan dari daging, lemak, noda darah atau kotoran yang menempel. Jika sudah bersih, dengan alat perentang yang dibuat dari kayu, kulit sapi dijemur dalam keadaan terbentang. Posisi yang paling baik untuk penjemuran dengan sinar matahari adalah dalam posisi sudut 45 derajat.

3.6.3. Pengeluaran Jeroan

Setelah sapi dikuliti, isi perut (visceral) atau yang sering disebut dengan jeroan dikeluarkan dengan cara menyayat karkas (daging) pada bagian perut sapi.

3.6.4. Pemotongan Karkas

Akhir dari suatu peternakan sapi potong adalah menghasilkan karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga recahan daging yang dapat dikonsumsipun tinggi. Seekor ternak sapi dianggap baik apabila dapat menghasilkan karkas sebesar 59% dari bobot tubuh sapi tersebut dan akhirnya akan diperoleh 46,50% recahan daging yang dapat dikonsumsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dari seekor sapi yang dipotong tidak akan seluruhnya menjadi karkas dan dari seluruh karkas tidak akan seluruhnya menghasilkan daging yang dapat dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, untuk menduga hasil karkas dan daging yang akan diperoleh, dilakukan penilaian dahulu sebelum ternak sapi potong. Di negara maju terdapat spesifikasi untuk pengkelasan (grading) terhadap steer, heifer dan cow yang akan dipotong.

Karkas dibelah menjadi dua bagian yaitu karkas tubuh bagian kiri dan karkas tubuh bagian kanan. Karkas dipotong-potong menjadi sub-bagian leher, paha depan, paha belakang, rusuk dan punggung. Potongan tersebut dipisahkan menjadi komponen daging, lemak, tulang dan tendon. Pemotongan karkas harus mendapat penanganan yang baik supaya tidak cepat menjadi rusak, terutama kualitas dan hygienitasnya. Sebab kondisi karkas dipengaruhi oleh peran mikroorganisme selama proses pemotongan dan pengeluaran jeroan.

Daging dari karkas mempunyai beberapa golongan kualitas kelas sesuai dengan lokasinya pada rangka tubuh. Daging kualitas pertama adalah daging di daerah paha (round) kurang lebih 20%, nomor dua adalah daging daerah pinggang (loin), lebih kurang 17%, nomor tiga adalah daging daerah punggung dan tulang rusuk (rib) kurang lebih 9%, nomor empat adalah daging daerah bahu (chuck) lebih kurang 26%, nomor lima adalah daging daerah dada (brisk) lebih kurang 5%, nomor enam daging daerah perut (frank) lebih kurang 4%, nomor tujuh adalah daging daerah rusuk bagian bawah sampai perut bagian bawah (plate & suet) lebih kurang 11%, dan nomor delapan adalah daging bagian kaki depan (foreshank) lebih kurang 2,1%. Persentase bagian-bagian dari karkas tersebut di atas dihitung dari berat karkas (100%). Persentase recahan karkas dihitung sebagai berikut:

Persentase recahan karkas = Jumlah berat recahan / berat karkas x 100 %

Istilah untuk sisa karkas yang dapat dimakan disebut edible offal, sedangkan yang tidak dapat dimakan disebut inedible offal (misalnya: tanduk, bulu, saluran kemih, dan bagian lain yang tidak dapat dimakan).

IV. GAMBARAN PELUANG AGRIBISNIS

Sapi potong mempunyai potensi ekonomi yang tinggi baik sebagai ternak potong maupun ternak bibit. Selama ini sapi potong dapat mempunyai kebutuhan daging untuk lokal seperti rumah tangga, hotel, restoran, industri pengolahan, perdagangan antar pulau. Pasaran utamanya adalah kota-kota besar seperti kota metropolitan Jakarta.

Konsumen untuk daging di Indonesia dapat digolongkan ke dalam beberapa segmen yaitu :

Konsumen Akhir
Konsumen akhir, atau disebut konsumen rumah tangga adalah pembeli-pembeli yang membeli untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individunya. Golongan ini mencakup porsi yang paling besar dalam konsumsi daging, diperkirakan mencapai 98% dari konsumsi total. Mereka ini dapat dikelompokkan lagi ke dalam ova sub segmen yaitu :
1. Konsumen dalam negeri ( Golongan menengah keatas )
Segmen ini merupakan segmen terbesar yang kebutuhan dagingnya kebanyakan dipenuhi dari pasokan dalam negeri yang masih belum memperhatikan kualitas tertentu sebagai persyaratan kesehatan maupun selera.
2. Konsumen asing
Konsumen asing yang mencakup keluarga-keluarga diplomat, karyawan perusahaan dan sebagian pelancong ini porsinya relatif kecil dan tidak signifikan. Di samping itu juga kemungkinan terdapat konsumen manca negara yang selama ini belum terjangkau oleh pemasok dalam negeri, artinya ekspor belum dilakukan/jika dilakukan porsinya tidak signifikan.
b) Konsumen Industri
Konsumen industri merupakan pembeli-pembeli yang menggunakan daging untuk diolah kembali menjadi produk lain dan dijual lagi guna mendapatkan laba. Konsumen ini terutama meliputi: hotel dan restauran dan yang jumlahnya semakin meningkat

Adapun mengenai tata niaga daging di negara kita diatur dalam inpres nomor 4 tahun 1985 mengenai kebijakansanakan kelancaran arus barang untuk menunjang kegiatan ekonomi.

V. REFERENSI

5.1. Daftar Pustaka


a) Abbas Siregar Djarijah. 1996, Usaha Ternak Sapi, Kanisius, Yogyakarta.
b) Yusni Bandini. 1997, Sapi Bali, Penebar Swadaya, Jakarta.
c) Teuku Nusyirwan Jacoeb dan Sayid Munandar. 1991, Petunjuk Teknis Pemeliharaan Sapi Potong, Direktorat Bina Produksi Peternaka
d) Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta Undang Santosa. 1995, Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi, Penebar Swadaya, Jakarta.
e) Lokakarya Nasional Manajemen Industri Peternakan. 24 Januari 1994,Program Magister Manajemen UGM, Yogyakarta.
f) Kohl, RL. and J.N. Uhl. 1986, Marketing of Agricultural Products, 5 th ed, Macmillan Publishing Co, New York.

SAPI PERAH

SAPI PERAH

1.1. Sejarah Singkat

Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili Bovidae. seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa.
Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni.
Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik sapi Madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi Red Deen. Persilangan lain yaitu antara sapi lokal (peranakan Ongole) dengan sapi perah Frisian Holstein di Grati guna diperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia.

1.2. Sentra Peternakan

Sentra peternakan sapi di dunia ada di negara Eropa (Skotlandia, Inggris, Denmark, Perancis, Switzerland, Belanda), Italia, Amerika, Australia, Afrika dan Asia (India dan Pakistan). Sapi Friesian Holstein misalnya, terkenal dengan produksi susunya yang tinggi (+ 6350 kg/th), dengan persentase lemak susu sekitar 3-7%. Namun demikian sapi-sapi perah tersebut ada yang mampu berproduksi hingga mencapai 25.000 kg susu/tahun, apabila digunakan bibit unggul, diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, lingkungan yang mendukung dan menerapkan budidaya dengan manajemen yang baik. Saat ini produksi susu di dunia mencapai 385 juta m2/ton/th, khususnya pada zone yang beriklim sedang. Produksi susu sapi di PSPB masih kurang dari 10 liter/hari dan jauh dari standar normalnya 12 liter/hari (rata-ratanya hanya 5-8 liter/hari).

1.3. Jenis

Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius, yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus.
Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia).
Hasil survei di PSPB Cibinong menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein.

1.4. Manfaat

Peternakan sapi menghasilkan daging sebagai sumber protein, susu, kulit yang dimanfaatkan untuk industri dan pupuk kandang sebagai salah satu sumber organik lahan pertanian.

II. PERSYARATAN LOKASI

Lokasi yang ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang serta dekat dengan lahan pertanian. Pembuatannya dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah atau ladang.

III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA

3.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.
Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.
Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.
Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan-bahan lainnya. Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).

3.2. Pembibitan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai keturunan produksi susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik, apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelok-kelok, puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan (h) tiap tahun beranak.
Sementara calon induk yang baik antara lain: (a) berasal dari induk yang menghasilkan air susu tinggi, (b) kepala dan leher sedikit panjang, pundak tajam, badan cukup panjang, punggung dan pinggul rata, dada dalam dan pinggul lebar, (c) jarak antara kedua kaki belakang dan kedua kaki depan cukup lebar, (d) pertumbuhan ambing dan puting baik, (e) jumlah puting tidak lebih dari 4 dan letaknya simetris, serta (f) sehat dan tidak cacat.
Pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur sekitar 4-5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai sifat-sifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar, punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h) paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya cukup lebar, (j) badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat pada keturunannya.

3.2.1. Pemilihan Bibit dan Calon Induk
Untuk mengejar produktivitas ternak yang tinggi, diperlukan perbaikan lingkungan hidup dan peningkatan mutu genetik ternak yang bersangkutan.
Bibit yang baru datang harus dikarantina untuk penularan penyakit. Kemudian bibit diberi minum air yang dicampur garam dapur, ditempatkan dalam kandang yang bersih dan ditimbang serta dicatat penampilannya.
3.2.2. Perawatan Bibit dan Calon Induk
Seluruh sapi perah dara yang belum menunjukkan tanda-tanda birahi atau belum bunting setelah suatu periode tertentu, harus disisihkan. Jika sapi yang disisihkan tersebut telah menghasilkan susu, sapi diseleksi kembali berdasarkan produksi susunya, kecenderungan terkena radang ambing dan temperamennya.
3.2.3. Sistim Pemuliabiakan
Seringkali sapi perah dara dikawinkan dengan pejantan pedaging untuk mengurangi risiko kesulitan lahir dan baru setelah menghasilkan anak satu dikawinkan dengan pejantan sapi perah pilihan. Bibit harus diberi kesempatan untuk bergerak aktif paling tidak 2 jam setiap hari.

3.3. Pemeliharaan

3.3.1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas. Sapi perah yang dipelihara dalam naungan (ruangan) memiliki konsepsi produksi yang lebih tinggi (19%) dan produksi susunya 11% lebih banyak daripada tanpa naungan.
Bibit yang sakit segera diobati karena dan bibit yang menjelang beranak dikering kandangkan selama 1-2 bulan.
3.3.2. Perawatan Ternak
Ternak dimandikan 2 hari sekali. Seluruh sapi induk dimandikan setiap hari setelah kandang dibersihkan dan sebelum pemerahan susu. Kandang harus dibersihkan setiap hari, kotoran kandang ditempatkan pada penampungan khusus sehingga dapat diolah menjadi pupuk. Setelah kandang dibersihkan, sebaiknya lantainya diberi tilam sebagai alas lantai yang umumnya terbuat dari jerami atau sisa-sisa pakan hijauan (seminggu sekali tilam tersebut harus dibongkar).
Penimbangan dilakukan sejak sapi pedet hingga usia dewasa. Sapi pedet ditimbang seminggu sekali sementara sapi dewasa ditimbang setiap bulan atau 3 bulan sekali. Sapi yang baru disapih ditimbang sebulan sekali. Sapi dewasa dapat ditimbang dengan melakukan taksiran pengukuran berdasarkan lingkar dan lebar dada, panjang badan dan tinggi pundak.
3.3.3. Pemberian Pakan
Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
• sistem penggembalaan (pasture fattening)
• kereman (dry lot fattening)
• kombinasi cara pertama dan kedua.
Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, alfalfa, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB.
Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).
Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur, kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan per hari.
Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara.
Pemberian pakan secara kereman dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
3.3.4. Pemeliharaan Kandang
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.
Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.

3.4. Hama dan Penyakit
3.4.1. Penyakit
a. Penyakit antraks
Penyebab: Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan. Gejala: (1) demam tinggi, badan lemah dan gemetar; (2) gangguan pernafasan; (3) pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul; (4) kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan vagina; (5) kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; (6) limpa bengkak dan berwarna kehitaman. Pengendalian: vaksinasi, pengobatan antibiotika, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur/membakar sapi yang mati.
b. Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae epizootica (AE)
Penyebab: virus ini menular melalui kontak langsung melalui air kencing, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE. Gejala: (1) rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3) nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar berlebihan. Pengendalian: vaksinasi dan sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.
c. Penyakit ngorok/mendekur atau penyakit Septichaema epizootica (SE)
Penyebab: bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri. Gejala: (1) kulit kepala dan selaput lendir lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan; (2) leher, anus, dan vulva membengkak; (3) paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua; (4) demam dan sulit bernafas sehingga mirip orang yang ngorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam. Pengendalian: vaksinasi anti SE dan diberi antibiotika atau sulfa.
d. Penyakit radang kuku atau kuku busuk (foot rot)
Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor. Gejala: (1) mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh; (2) kulit kuku mengelupas; (3) tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit; (4) sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.
3.4.2. Pencegahan Serangan
Upaya pencegahan dan pengobatannya dilakukan dengan memotong kuku dan merendam bagian yang sakit dalam larutan refanol selama 30 menit yang diulangi seminggu sekali serta menempatkan sapi dalam kandang yang bersih dan kering.

3.5. Panen

3.5.1. Hasil Utama
Hasil utama dari budidaya sapi perah adalah susu yang dihasilkan oleh induk betina.
3.5.2. Hasil Tambahan
Selain susu sapi perah juga memberikan hasil lain yaitu daging dan kulit yang berasal dari sapi yang sudah tidak produktif serta pupuk kandang yang dihasilkan dari kotoran ternak.
3.6.Pascapanen

IV. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA PETERNAKAN
4.1. Analisis Usaha Budidaya
Usaha ternak sapi perah di Indonesia masih bersifat subsisten oleh peternak kecil dan belum mencapai usaha yang berorientasi ekonomi. Rendahnya tingkat produktivitas ternak tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/ketrampilan petani yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem recording, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit. Selain itu pengetahuan petani mengenai aspek tata niaga harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya.
Produksi susu sapi di dunia kini sudah melebihi 385 juta m2/ton/th dengan tingkat penjualan sapi dan produknya yang lebih besar daripada pedet, pejantan, dan sapi afkiran. Di Amerika Serikat, tingkat penjualan dan pembelian sapi dan produknya secara tunai mencapai 13% dari seluruh peternakan yang ada di dunia. Sementara tingkat penjualan anak sapi (pedet), pejantan sapi perah, dan sapi afkir hanya berkisar 3%. Produksi susu sejumlah itu masih perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia ini.
Untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi maka pengelolaan dan pemberian pakan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan ternak, dimana minimum pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak (terserap) diusahakan sekitar 3,5-4% dari bahan kering
4.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Usaha peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi yang dipelihara minimal sebanyak 6 ekor, walaupun tingkat efisiensinya dapat dicapai dengan minimal pengusahaannya sebanyak 2 ekor dengan rata-rata produksi susu sebanyak 15 lt/hari. Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pembudidayaan sapi perah tersebut dapat juga dilakukan dengan melakukan diversifikasi usaha. Selain itu melakukan upaya kooperatif dan integratif (horizontal dan vertikal) dengan petani lainnya dan instansi-instansi lain yang berkompeten, serta tetap memantapkan pola PIR diatas.

V. REFERENSI
5.1. Daftar Pustaka
Anonim. [ ]. Pedoman beternak sapi perah. Purwokerto, Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak. 2 hal. (brosur).
Anonim. 1983. Petunjuk cara-cara penggunaan obat-obatan ternak. Samarinda, Dinas Peternakan Kalimantan Timur. 12 hal.
Anonim. 1988. Kondisi peternakan sapi perah dan kualitas susu di pulau Jawa. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 39-40.
Anonim. 1988. Pemerahan, satu faktor penentu jumlah air susu. Swadaya Peternakan Indonesia, (42) 1988: 23-24.
Anonim. 1988. Upaya peningkatan kesejahteraan peternak melalui peningkatan efisiensi produksi. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 16-24.
Bandini, Yusni. 1997. Sapi Bali. Cet 1. Jakarta, Penebar Swadaya. 73 hal.
Church, D.C. 1991. Livestock feeds and feeding. 3 ed. New Jersey, Prentice-Hall, Inc.: 278-279.
Djaja, Willian. 1988. Hidup bersih dan sehat di peternakan sapi perah. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 25-26.
Djarijah, Abbas Sirega. 1996. Usaha ternak sapi. Yogyakarta, Kanisius. 43 hal.
Fox, Michael W. 1984. Farm animals: husbandry, behavior, and veterinary practice. Baltimore Maryland, University Park Press: 82-112; 150.
Ginting, Eliezer. 1988. Bimbingan dan penyuluhan usaha sapi perah rakyat di Jawa Timur. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 27-33.
Hehanussa, P.E. 1995. Rencana induk Life Science Center-Cibinong. Limnotek, 3 (1) 1995: 1-34.
Hermanto. 1988. Bagaimana cara penanganan sapi perah pada masa kering? Swadaya Peternakan Indonesia, (42) 1988: 24-25.
Nienaber, J.A., et al. 1974. Livestock environment affects production and health. Proceedings of the International Livestock Environment Conference. St. Joseph, American Society of Agricultural Engineers.
Pane, Ismed. 1986. Pemuliabiakan ternak sapi. Jakarta, PT. Media: 1-38; 133.
Sabrani, M. 1994. Teknologi pengembangan sapi Sumba Ongole. Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: 15-26.
Suryanto, Bambang; Santosa, Siswanto Imam; Mukson. 1988. Ilmu Usaha Peternakan. Semarang, Fakultas Peternakan UNDIP. 63 hal.
Warudjo, Bambang 1988. Kualitas dan harga susu. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 34-38.
5.2. Personil
Tri Margono d/a Puslitbang Bioteknologi LIPI Peternakan sapi perah P3-Biotek (PSPBdi Cibinong)

13 Maret, 2010

MAMPUKAH KITA MENCINTAI TANPA SYARAT???

Dear friends..... .

Terlampir kisah nyata yang bagus sekali untuk contoh kita semua yang saya
dapat dari millis sebelah (kisah ini pernah ditayangkan di MetroTV). Semoga kita dapat mengambil pelajaran


Ini cerita Nyata, beliau adalah Bp. Eko Pratomo Suyatno, Direktur Fortis
Asset Management yg sangat terkenal di kalangan Pasar Modal dan Investment, beliau juga sangat sukses dlm memajukan industri Reksadana diIndonesia. Apa yg diutarakan beliau adalah Sangat Benar sekali. Silahkan baca dan dihayati.


MAMPUKAH KITA MENCINTAI TANPA SYARAT???

Sebuah perenungan, Buat para suami dan calon suami baca ya....istri & calon istri juga boleh...

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi,usia yang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua.Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran menyuapi dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur.Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.

Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa-apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun,dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka,sekarang anak-anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari...ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yang merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yg cukup hati-hati anak yang sulung berkata "Pak kami ingin sekali merawat ibu semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu, tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak ....... bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu" .Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-kata: "sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak,kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baiknya secara bergantian".

Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga ana-anaknya: "Anak-anakku ........... Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah ..... tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian .. ..(sejenak kerongkongannya tersekat,) ..... kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaannya seperti Ini?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yang diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit."Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak Suyatno merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno .. dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu..

Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa .. disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah Pak Suyatno bercerita."Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian) adalah kesia-siaan.

Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya,dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata,dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu..Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama... dan itu merupakan ujian bagi saya,apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit..."

Pakan dan Manajemen Pedet

Pakan dan Manajemen Pedet
umur 0 – 3 bulan

Donna M. Amaral-Phillips, Patty B. Scharko, John T. Johns, and Sharon Franklin

Masa depan produktifitas sebuah peternakan sapi perah, ternak induk merupakan gambaran investasi keuangan yang sangat penting dalam hal pakan dan tenaga kerja. Nilai investasi ini perlu dijaga melalui manajemen pemeliharaan dan pakan untuk memberi pertumbuhan nilai ekonomis dan kemampuan untuk beranak pada umur 24 bulan.
Bulan pertama, kedua sampai ketiga merupakan periode kritis untuk mendapatkan nilai-nilai yang baik.

Program Pakan Pada Masa Kering
Aplikasi terbaik untuk pakan dan pemeliharaan ternak, dimulai saat induk berada pada masa dua bulan sebelum beranak. Pertumbuhan janin terjadi pada masa itu dan diperlukan zat makanan yang penting untuk masa pertumbuhan. Program manajemen ini juga akan memberi pengaruh pada kualitas dan jumlah antibody yang terkandung didalam kolostrum, sebagai susu pertama untuk pedet yang memberi nilai bagi kesehatan pedet setelah dilahirkan.

Pemeliharaan di masa kering memerlukan keseimbangan ransum dan memberi dorongan untuk pertumbuhan janin. Jika induk mendapatkan pakan dengan kandungan energi dan atau protein yang rendah, maka janin boleh jadi akan tetap berkembang seperti pada umumnya, tetapi induk akan menggunakan cadangan dari tubuhnya atau keperluan pertumbuhannya untuk menjamim perkembangan kandungannya. Intinya, pertumbuhan janin memerlukan prioritas zat makanan dari pada pertumbuhan induknya atau penjagaan kondisi tubuh induk. Induk yang mendapatkan jumlah pakan yang kurang akan mengalami banyak permasalahan saat persalinan. Pada induk yang tua, mereka akan menggunakan cadangan tubuh, seperti lemak dan protein dan cadangan ini tidak akan mencukupi untuk produksi susu.

Pesan penting yang disampaikan, bahwa kekurangan pakan pada ternak yang bunting tua tidak akan menyebabkan pedet lahir dalam keadaan kecil, tetapi penampilan produksi induk akan menurun setelah bersalin. Mineral dan vitamin sangat penting bagi ternak bunting tua dan perkembangan janin serta akan mengurangi permasalahan kesehatan, seperti pencegahan terjadinya retensio placenta, meningkatnya sistem immun sehingga ternak dapat melawan gangguan penyakit, seperti mastitis sebelum atau setelah beranak. Kekurangan mineral seperti fosfor, mangan, kobalt, tembaga, seng dan selenium dapat menyebabkan defisiensi pada pedet yang dilahirkan.

Hal yang paling efektif untuk mencegah terjadinya diare adalah dengan melakukan vaksinasi pada ternak bunting tua dengan vaksin diare sebelum beranak. Induk dewasa harus diinjeksi 4 – 6 minggu sebelum bersalin. Induk divaksin dua bulan sebelum beranak dan diulang kembali satu bulan sebelum bersalin. Vaksin diare mengandung rota dan corona virus, E. Coli dan atau Clostridium perfingens. Konsultasi dengan dokter hewan sangat diperlukan.

Penjagaan Pedet
Saat setelah persalinan, pedet harus dijaga dari terjadinya komplikasi. Induk harus bersalin dalam keadaan bersih, kering, diberi bantalan dari hamparan jerami atau serbuk gergaji. Kandang beranak berukuran 50 – 60 m2 dengan penerangan yang cukup, sirkulasi udara yang baik dan bebas debu. Induk dapat juga bersalin di luar kandang asalkan tidak terdapat gangguan angin yang kencang.
Pedet yang baru lahir akan segera bernafas sesaat setelah tali plasentanya terputus. Lendir sekitar hidung harus segera disingkirkan, jangan membopong pedet melalui ketiak atau dengan mengangkatn kaki belakang, pastikan pedet sudah berada pada kondisi yang aman untuk dibopong. Segera setelah beranak, celupkan 7% iodine tincture pada tali pusat pedet. Induk akan menjilati pedetnya sampai bulunya mengering, pada suhu yang dingin atau bila induk tidak mau menjilati pedetnya, gunakan kain kering untuk menyeka tubuh pedet. Hal ini bukan semata untuk mengeringkan bulu pedet, tetapi untuk merangsang sirkulasi darah. Umumnya, pedet segara dipisahkan dari induknya sesaat setelah selesai dijilat dan bulunya mengering.

Konsumsi Kolostrum = Bertahan Hidup
Kolostrum disekresi oleh glandula mamary segera sebelum dan setelah persalinan. Kolostrum yang sebenarnya disekresi hanya saat perahan pertama, setelah 1,5 sampai dua hari kemudian, dinamakan susu transisi. Kolostrum diperuntukkan kepada pedet sebagai makanan utama. Seperti pada tabel 2., kolostrum mengandung dua kali atau lebih bahan kering dan total bahan padat, dua – tiga kali lebih banyak mineral dan lima kali lebih banyak protein dari susu pada umumnya. Kolostrum juga mengandung berbagai hormon dan pemicu pertumbuhan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan saluran pencernaan. Kolostrum memiliki kandungan laktosa lebih rendah sehingga mengurangi terjadinya gangguan diare. Susu yang diperah setelah masa awal pemerahan memiliki kualitas yang rendah dan sebaiknya tidak diberikan sebagai makanan bagi pedet sebagai susu kolostrum.

Pedet lahir dengan pertahanan atau imunitas dari serangan penyakit yang minim. Mereka secara perlahan akan mampu bertahan dari serangan penyakit setelah mengkonsumsi kolostrumk berkualitas tinggi, yang merupakan susu pertama dari induknya. Pedet yang tidak mendapatkan kolostrum berkualitas sejak awal lahir akan mudah terserang penyakit. Ternak sapi Peranakan Frisien Holstein (PFH) setidaknya mengkonsumsi 1 – 1,5 liter kolostrum dalam kurun waktu satu jam setelah lahir dan jumlah yang sama dalam kurun waktu 12 jam sesudahnya atau pada pemberian berikutnya (pedet yang mengkonsumsi kolostrum sebanyak 1,5 liter tidak menyebabkan diare pada ternak PFH). Jumlah antibodi akan menurun seiring dengan kondisi kolostrum setelah beranak. Dalam kurun waktu enam jam setelah lahor, kemampuan retikulum untuk menyerap antibodi akan berkurang 1/3-nya. Setalah 24 jam, retikulum hanya mampu menyerap 11% dari potensi awal saat baru saja lahir. Selain itu, pada masa tersebut pencernaan oleh enzym akan merusak dan mencerna seluruh antibodi. Kadang kala, ada peternak yang membiarkan pedet mengkonsumsi langsung dari induknya. Penelitian menunjukkan pedet yang langsung menghisap puting induknya tidak mampu mengkonsumsi kolostrum yang tepat pada jam pertama kehidupannya dan tidak mampu mendapatkan kemampuan imun dari serangan penyakit. Pemberian kolostrum dengan menggunakan tangan/kolostrum diperah dari induknya, merupakan cara yang dianjurkan karena peternak mampu mengetahui jumlah kolostrum yang dikonsumsim pedetnya. Kolostrum berada dalam jumlah sedikit dan kental. Kualitas kolostrum dapat diukur dengan alat yang bernama COLOSTROMETER (terdapat pada katalog produk Nasco). Kualitas kolostrum terbaik memiliki kandungan immunoglobulin sebesar 50mg/ml. Sebelum diperah, puting induk sebaiknya dibersihkan, karena pedet tidak dianjurkan mengkonsumsi kolostrum yang encer, mengandung darah dan terkena mastitis atau induk terkena serangan penyakit Johne. Pedet yang tidak mendapatkan kolostrum ideal, dapat mengkonsumsi susu melalui jalur masuk melalui tenggorokan. 3 – 5,5 galon kolostrum yang baik, dapat disimpan pada freezer dan mampu bertahan sampai satu tahun, untuk mengantisipasi pedet yang lahir dengan kondisi induk yang terkena mastitis atau tidak keluar air susunya. Kolostrum dari ternak sapi perah dapat dikonsumsi oleh pedet ternak sapi potong. Kolostrum dapat dicairkan dengan menggunakan air hangat atau dalam microwave pada power yang minimum dalam jangka waktu yang singkat.

Setelah pedet berumur tiga hari, selanjutnya pedet akan mengkonsumsi susu transisi yang berasal dari induknya atau induk yang lain, dengan catatan, air susu berada pada konsisi sehat.

Kandang Pedet
Kandang pedet sebaiknya berada pada kondisi individu, bebas debu dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Satu pintu masuk dianjurkan untuk mencegah penyebaran penyakit dari satu pedet kepada pedet lain. Lantai kandang dapat diberi lapisan jerami atau serbuk gergaji yang tetap dijaga kebersihan dan kekeringannya serta diganti setiap pedet tersebut dipindahkan/dikeluarkan dari kandangnya.

Pilihan Susu untuk Pedet
Selama 1 – 2 minggu sejak lahir, pedet mengkonsumsi air susu sebagai makanannya. Setelah empat hari, pedet dapat mengkonsumsi jenis susu lain, misalnya air susu biasa, susu reject, Calf Milk Replacer atau susu fermentasi atau kolostrum segar. (tabel 3). Perbedaan jenis susu diatas adalah harga, keterdiaan dan kemudahan. Pedet secara umum mengkonsumsi air susu dua kali sehari dari dot atau ember atau mereka mengkonsumsi langsung dari ember. Saat mengkonsumsi susu, saluran oesophagus akan menutup dan air susu akan secara langsung masuk ke abomasum atau perut sejati. Respon menutupnya oesophagus, merupakan mekanisme kerja syaraf yang akan aktif sampai kira-kira pedet berumur 12 minggu.

Pencegahan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan melakukan pasteurisasi susu dengan suhu 65,5oC atau 150oF selama 30 menit. Peralatan juga dikonsisikan terbebas dari bakteri (dilakukan desinfektan)

(note –redaksi) :
Di Indonesia, penggunaan CMR atau susu pengganti biasanya dilakukan setelah pedet berumur dua bulan dan jumlah pemberiannya secara bertahap sampai puncaknya, sebanyak 4 – 5 liter/ekor/hari

Susu Segar
Dapat digunakan sebagai pakan bagi pedet dengan dosis 10% dari bobot lahir pedet. Misalnya, pedet lahir dengan bobot 45 kg, maka dilakukan pemberian air susu sebanyak 4,5 liter/hari atau 2,25 liter setiap pemberian. Pemberian air susu yang kurang akan menyebabkan pertumbuhan pedet yang terganggu karena kekurangan zat makanan. Kelebihan konsumsidapat mengakibatkan gangguan pencernaan dan diare. Kelebihan konsumsi air susu akan menyebabkan pengurangan konsumsi pakan kering atau biji-bijian sehingga akan menyebabkan bertambahnya masa menyusui.

Susu Reject
Susu mastitis dapat digunakan sebagai pakan pedet dengan dosis 10% dari bobot lahir. Susu ini dapat dikonsumsi pedet setelah berumur 8 – 12 minggu dan tidak boleh diberikan apabila berasal dari induk yang diberi perlakuan antibiotik, sementara pedet akan diproyeksikan dipotong (dijual sebagai calf). Pedet harus berada pada kandang individual. Jangan berikan susu mastitis yang encer dan terkena mastitis akut.

Calf Milk Replacer (CMR)

CMR harus dilarutkan pada air hangat dan merupakan salah satu model yang digunakan dengan pertimbangan ekonomis. Selama tiga minggu pertama, pedet mengkonsumsi CMR yang memiliki kandungan protein tinggi yang berasal dari susu bubuk atau hasi prosesing keju (whey). CMR sebaiknya mengandung 18 – 22% PK. 10 – 22% Lemak dan kurang dari 5% SK.

Kolostrum yang Difermentasi
Fermentasi atau sop kolostrum digunakan sebagai pakan pedet, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa PBBH pedet yang diberi kolostrumk fermentasi sama dengan pedet yang mengkonsumsi air susu biasa. Fermentasi kolostrum merupakan hasil koleksi kolostrum yang berlebihan pada tiga hari pertama setelah bersalin. Kolostrum ini dimasukkan kedalam kantong plastik. Kolostrum dari ternak yang diberi injeksi antibiotik, sebaiknya tidak dicampurkan karena akan membunuh organisme fermentor. Fermentasi kolostrum dilakukan pada suhu 60 – 80oF dan terlindung dari sinar matahari. Dibawah suhu 60oF, proses akan berlangsung lambat dan diatas 80oF fermentasi akan berlangsung cepat dan akan mengembangbiakkan mikroorganisme yang tidak diharapkan. Penambahan bahan pengawet yang bersifat asam akan menambah kemapuan bakteri fermentasi dan menurunkan mikroorganisme yang tidak diharapkan. Fermentasi berlangsung selama 10 – 14 hari dan dapat disimpan 14 – 30 hari kemudian. Pedet dapat diberikan kolostrum fermentasi pada umur 4 hari. Kolostrum fermentasi dilarutkan pada air hangat dengan perbansingan 1 bagian air hangat : 2 bagian kolostrum fermentasi dengan dosis 10% dari bobot lahir pedet.

Diare
Diare disebabkan karena konsumsi susu terlalu banyak atau karena infeksi bakteri, virus atau protozoa (cryto atau coccidia). Pengawasan oleh petugas kesehatan adalah hal terbaik untuk mendiagnosa penyabab dan melakukan program pencegahan. Diare akan menyebabkan kehilangan air dan elektrolit dari tubuh pedet, seperti sodium, bikarbonat, klorin dan potassium. Diare dapat menyebabkan kehilangan 10 – 12 % bobot badan dan air. Lemas dan kematian merupakan efek dari kejadian diare. Pedet memerlukan asupan elektrolit setiap hari sebanyak 4 kali sehari. Pedet yang tidak dapat menyusu, harus dicekok atau air susunya yang banyak mengandung energi dan nutrisi lain dan diberi larutan elektrolit untuk menjaganya dapat bertahan hidup. \

Tabel 4. salah satu komposisi elektrolit
1 pak pectin dari buah-buahan
1 sendok teh garam
2 sendok teh soda kue
1 ember beef consommé
Air hangat sampai 2 liter
Diaplikasi 30 – 60 menit setelah konsumsi susu


Pakan Pedet dan Air, Penting untuk Perkembangan Rumen

Sebagai bagian pertama kehidupan, pedet memiliki pertut sederhana, sama seperti ternak monogastrik. Saat lahir, ada tiga komponen perut, rumen, retikulum, omasum, yang belum berkembang dan belum mampu melaksanakan pencernaan pakan. Saat pedet mulai makan konsentrat (biasanya merupakan campuran antara biji-biian, sumber protein, mineral dan vitamin) dan air minum, saat itulah rumen mulai berkembang. Pakan pedet dapat dimulai sejak pedet berumut 4 hari dan pakan harus diformulasi sehingga disukai dan memiliki kandungan protein, mineral dan vitamin.

Konsentrat pedet ini harus dibarengi dengan tersedianya air untuk menjamin perkembangan rumen. Pemberian dilakukan sedikit demi sedikit. Pakan berserat diberikan sampai pedet berumur delapan minggu.
Pemberian air sangat diperlukan dan selalu ada untuk menjamin perkembangan pedet. Menurut hasil penelitian, pedet yang tidak diberi minum akan menurunkan 31 % konsumsi konsentrat dan menurunkan bobot badan sampai 38% dibandingkan dengan pedet yang diberi cukup air. Konsumsi air yang masuk ke dalam rumen akan merangsang pertumbuhan rumen.

Penyapihan
Pedet dapat disapih setelah mampu mengkonsumsi 0,75 – 1 kg konsentrat sebanyak tiga kali sehari, sehingga pedet dapat disapih bukan berdasarkan pada umur, tetapi pada kemampuan konsumsi konsentrat. Ada pedet yang disapih pada umur empat minggu dan ada pula yang disapih diatas 10 minggi. Penyapihan dilakukan secara bertahap selama 3 – 7 hari.

Pakan Pedet Setelah Penyapihan
Setelah penyapihan, penggantian pakan konsentrat serta pemeliharaan dengan sistem kelompok dilakukan secara bertahap selama sekitar dua minggu. Pengelompokan pedet dengan umur 2 – 4 bulan dilakukan tiap 4 – 6 ekor. Perlakuan pedet pada kelompok kecil dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya penyesuaian diri dan menekan terjadinya kompetisi perebutan makanan. Pemberian pakan berserat sudah mulai dilakukan dan konsentrat yang diberikan sebanyak 1,5 – 3 kilogram (jenis Jersey memerlukan 2 kg konsentrat). Diare disebabkan Diare disebabkan

Manajemen Budidaya
Saat beranak, pedet harus dudah diberi identitas dengan menggunakan ear tag atau tanda pada telinga atau dengan photo. Pencatatan sangat penting untuk mendapatkan dokumentasi tentang tanggal lahir, garis keturunan. Pemberian vaksin anti diare dilaksanakan sebagai salah satu tindakan pencegahan penyakit. Saat tanduk pedet sudah nampak, dilakukan dehorning dengan menggunakan electric dehorner dan lebih baik dilakukan pada pedet yang berumur dibawah satu bulan untuk mengurangi terjadinya stress dan kemudahan penanganan.
Puting yang berlebih, harus segera dihilangkan dengan gunting yang tajam dan steril serta pastikan bahwa puting yang dipotong adalah puting yang tidak berguna.

08 Maret, 2010

Perkawinan

pernahkah anda mendengar tentang hasil perkawinan antara mentok dengan itik? .. tentunya sudah kita ketahui, namanya TikTok

juga perkawinan antara sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi Simmental, kita kenal dengan nama Simpo
atau sapi Limousine dengan Peranakan Ongole (PO), kita kenal dengan nama Limpo
atau sapi Aberdeen Angus dengan Brahman, kita kenal dengan nama Brangus
atau sapi-sapi Brahman yang dikawinkan dengan beberapa jenis sapi lainnya, seperti Shorthorn, Droughmaster, Hereford, Angus, Frisien Holstein

pada ternak yang lebih kecil, misalnya ...
ternak kambing kacang yang dikawinkan dengan kambing peranakan ettawah, yang dikenal dengan nama kambing koplo
atau kambing boer dengan kambing kacang, kita kenal dengan nama boerka
atau domba ekor gemuk dengan domba garut

tetapi, dibalik kebisaan persilangan itu ... ada lagi yang tidak dapat disilangkan, dikawinkan dan menghasilkan keturunan, sampai saat ini dan kemungkinan tanpa seijinNya tioidak akan mungkin ...

Sapi dengan Kerbau
atau
Kambing dengan Domba

berbagai versi akan memunculkan perdebatan, mulai genetis, jumlah kromosom dan gennya sampai beberapa paparan ilmiah yang njlimet ... ternyata, dibalik itu semua ... ada hal yang sepele dan cukup masuk akal, kenapa mereka tidak dapat dikawinkan ...

Orang Tuanya Tidak Setuju

..he..he.. just joke

keep on istiqomah for smile

SINKRONISASI ESTRUS

SINKRONISASI ESTRUS

Conception Rate merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam usaha pembibitan dan melakukan suatu penyeragaman kelahiran pada ternak sapi. Sinkronisasi ini adalah satu upaya untuk menyeragamkan terjadinya estrus pada ternak sapi sehingga dalam satu kelompok induk, proses bersalinnya dapat diatur pada rentang waktu tertentu.
Sinkronisasi estrus dilakukan untuk menghemat waktu dan mempermudah pelaksanaan deteksi berahi, penggunaan hormon reproduksi merupakan kunci pelaksanaan sinkronisasi berahi.

Hormon
Progesteron, Prostaglandin (PGF2α), Gonadotropin releasing hormone (GnRH), follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) merupakan beberapa hormone yang berpengaruh terhadap proses berahi. Hormone-hormon ini digunakan secara terpisah atau bersama-sama

Progesteron adalah hormon yang digunakan untuk mempertahankan kehamilan. Progesteron secara alami berada dalam bentuk (progesteron) atau sintetik (progestin). Saat terjadi pelepasan sel telur (ovulasi) akan terbentuk corpus hemorrhagicum, yang dengan cepat (dalam waktu 4 sampai 7 hari) berkembang menjadi korpus luteum (CL). CL akan menghasilkan progesteron di dalam aliran darah dan setelah CL matang, konsentrasi progesteron meningkat. Konsentrasi progesteron tetap meningkat selama kehamilan dan akan menentukan kehamilan. Jika dia tidak bunting, maka dalam waktu 15 sampai 18 hari dari siklus estrus normal, prostaglandin disintesis dan dilepaskan untuk regresi korpus luteum.
Prostaglandin (PGF2α), disekresi dari rahim betina saat tidak terjadi kebuntingan. Prostaglandin menyebabkan CL luruh dan akan menyebabkan konsentrasi progesteron menurun dengan cepat.

Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) dikeluarkan dari hipotalamus dan mempengaruhi hipofisis anterior. Saat konsentrasi progesteron meningkat, konsentrasi GnRH menurun. Jika CL meluruh, konsentrasi progesteron akan berkurang dalam aliran darah dan akan menyebabkan peningkatan konsentrasi GnRH. Kenaikan ini akan memungkinkan terjadinya peningkatan sekresi folikel stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH).

Follicle Stimulating Hormone (FSH
) yang ada pada ovarium (indung telur) akan meningkatkan jumlah telur. Biasa digunakan dalam transfer embrio untuk terjadinya superovulasi

Luteinizing Hormone (LH) diinjeksikan untuk meningkatkan jumlah folikel yang dihasilkan.

Potensi keuntungan Sinkronisasi estrus

1. masa perkawinan dapat dipersingkat antara 60-45 hari
2. pengembangan pembibitan lebih mudah
3. menghasilkan persalinan yang seragam dan mempermudah penyapihan ternak
4. dapat meningkatkan mutu genetik melalui inseminasi buatan atau kawin alam
5. mengurangi waktu dan tenaga untuk pengamatan berahi

Persyaratan untuk Sukses
1. perencanaan program yang baik
2. induk yang memiliki catatan reproduksi yang baik dan memiliki catatan pemberian nutrisi yang prima
3. semen untuk inseminasi yang baik dan ditunjang oleh inseminator yang handal
4. bila menggunakan pejantan, diperlukan pejantang yang sehat, agresif dan subur
5. diperlukan situasi lingkungan yang terkontrol
6. tingkat kebuntingan selanjutnya dapat lebih rendah bila kondisi ternak dan atau lingkungannya menjadi tidak terkontrol/tidak sesuai

Produk dan Dosis Rekomendasi

PROSTAGLANDIN
Lutalyse 5 ml, intra muskular
Estrumate 2 ml, intra muskular
IN-SYNC 5 ml, intra muskular

PROGESTIN

CIDR Intra vagina
MGA 0,6 mg/ekor/hari, per oral

GnRH
Cytrolrein 2 ml intra muscular atau intra vena
Factrel 2 ml intra muscular
Fertagyl 2 ml intra muscular atau intra vena


Di Balai Embrio Transfer, prosedur yang digunakan adalah :
1. Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a satu kali. Berahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
2. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari.

Sumber Pustaka

Timotius W. Wilson, Cooperative Extension Service The University of Georgia College of Agricultural and Environmental Sciences University of Georgia College Pertanian dan Ilmu Lingkungan Estrous Synchronization for Beef Cattle Sinkronisasi estrus untuk Sapi Potong
Dr Rick Rasby., Gene Deutcher - Beef Specialist, University of Nebraska.
Iptek Net

Mengenai Saya

Foto saya
keberadaan saya didunia ... bagi saya adalah keberkahan yang sangat besar .. anugerah tiada tara .. dunia peternakan menjadi salah satu tempat terindah yang saat ini saya selami ... sedikit yang saya dapat berikan saat ini ... sedikit yang dapat saya abdikan saat ini ...

COWMANIA

COWMANIA